Saturday, November 3, 2018

Amputasi

Amputasi

Amputasi adalah hilangnya bagian tubuh, seperti jari, lengan, atau tungkai akibat cedera atau terjadi secara terencana melalui prosedur operasi, misalnya untuk mencegah penyebaran infeksi.
Bagian tubuh yang terputus seluruhnya, misalnya jari yang putus akibat cedera, terkadang dapat disambungkan kembali. Hal ini dapat dilakukan jika bagian yang terputus mendapatkan perawatan yang tepat.
Pada kondisi terputus sebagian atau masih terdapat beberapa jaringan lunak yang tersambung pada tubuh pasien, juga masih mungkin untuk dapat disambung kembali. Namun, tergantung pada tingkat keparahan luka yang dialami pasien.
alodokter-amputasi

Penyebab Amputasi

Amputasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
  • Cedera (traumatic amputation)
    • Amputasi akibat cedera pada kecelakaan (accidental trauma). Kondisi ini meliputi kejadian yang dapat dialami pasien secara tiba-tiba, seperti:
      • Jatuh.
      • Kecelakaan kendaraan bermotor.
      • Kecelakaan di lokasi konstruksi atau berkaitan dengan pekerjaan.
      • Kecelakaan kereta api.
      • Luka bakar akibat listrik bertegangan tinggi.
    • Amputasi akibat luka perang (combat related trauma). Kondisi ini meliputi ledakan ranjau darat atau terkena pecahan peluru, sehingga menyebabkan bagian tubuh hancur atau terputus.
    • FrostbiteCedera pada bagian tubuh akibat paparan suhu dingin, yang dapat membuat bagian tubuh membeku dan mengalami kematian jaringan.
    • Serangan dari binatang buas.
  • Pembedahan (surgical amputation). Banyak alasan yang dapat mengakibatkan seseorang dilakukan amputasi, antara lain:
    • Penyakit arteri perifer (PAD), yaitu terhambatnya sirkulasi darah akibat penyempitan pembuluh darah tepi. Kondisi ini dapat mengakibatkan jaringan tubuh yang mendapat aliran darah tersebut dapat terinfeksi atau mati. Penyakit arteri perifer adalah salah satu penyebab medis amputasi yang paling umum terjadi.
    • Diabetes, dapat mengakibatkan komplikasi yang disebut neuropati diabetik. Neuropati diabetik dapat membuat kaki penderita mati rasa, sehingga bila ada luka pada kaki cenderung terabaikan dan menjadi terinfeksi. Selain itu, aliran darah pada kaki penderita diabetes berkurang, sehingga memperlambat penyembuhan luka dan infeksi, serta menyebabkan gangrene.
    • Osteomielitis, yaitu infeksi yang terjadi pada tulang. Amputasi mungkin dilakukan jika pengobatan tidak efektif dan infeksi semakin menyebar.
    • Infeksi jaringan lunak, seperti necrotizing fasciitis, yaitu infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri. Infeksi ini menyebar dengan cepat dan mematikan jaringan lunak dalam tubuh.
    • Sarkoma, yaitu kanker yang muncul dari berbagai jaringan tubuh, seperti otot, jaringan ikat, atau tulang.
    • Xenomelia atau body integrity identity disorder, yaitu gangguan yang terjadi ketika seseorang melakukan amputasi terhadap bagian tubuh yang sehat. Belum diketahui penyebab dari penyakit ini, namun diduga terdapat gangguan saraf atau psikologi.

Gejala Amputasi

Gejala amputasi yang dapat dialami, terutama pada amputasi akibat cedera, antara lain:
  • Rasa sakit. Tingkat rasa sakit tidak selalu sebanding dengan tingkat keparahan cedera atau perdarahan.
  • Perdarahan. Tingkat keparahan perdarahan tergantung pada lokasi dan jenis cedera yang dialami.
  • Jaringan tubuh rusak atau remuk. Jaringan tubuh mengalami kerusakan, namun sebagian jaringan bisa saja masih terhubung dengan otot, tulang, sendi, atau kulit.
Bagi penderita yang direncanakan untuk melakukan prosedur amputasi, dapat menimbulkan reaksi yang beragam, tergantung pada kondisi dan sebab amputasi yang dialami pasien. Namun, rencana tindakan amputasi umumnya memengaruhi psikologis pasien. Pasien akan melalui beberapa tahapan rasa duka yang meliputi:
  • Penyangkalan. Bentuk penolakan untuk terlibat dalam diskusi atau menolak mengajukan pertanyaan terkait prosedur yang direncanakan.
  • Kemarahan. Umumnya ditujukan kepada tim dokter yang menyarankan untuk melakukan amputasi.
  • Tawar menawar. Mencoba untuk mencegah operasi atau menundanya tanpa batas waktu dengan berbagai alasan.
  • Depresi. Pasien merasa tidak ada yang bisa menolongnya untuk mencegah tindakan amputasi.
  • Penerimaan.
Bagi orang yang mengalami amputasi akibat cedera, mungkin tidak melalui tahap duka. Namun, pemeriksaan terhadap kemungkinan gejala gangguan stres pascatrauma (PTSD) mungkin perlu dilakukan untuk mencegah komplikasi secara psikologis.

Pertolongan Pertama Saat Amputasi

Ada beberapa langkah pertolongan pertama yang dapat dilakukan terhadap korban amputasi, antara lain:
  • Periksa pernapasan dan denyut jantung korban. Jika perlu, lakukan resusitasi jantung paru (CPR).
  • Lakukan upaya untuk menenangkan korban. Hal ini perlu dilakukan karena kondisi amputasi sangat nyeri dan menakutkan.
  • Lakukan tindakan untuk menghentikan perdarahan dengan menekan luka secara langsung. Tinggikan bagian tubuh yang mengalami amputasi. Jika perdarahan masih berlangsung, periksa kembali sumber perdarahan dan beri tekanan pada sumber perdarahan tersebut.
  • Jika korban mengalami perdarahan yang hebat dan mengancam jiwa, gunakan perban atau bebat, dan tutuplah luka dengan kuat. Namun, penggunaan perban tidak boleh dalam jangka waktu yang lama, karena dapat membahayakan korban.
  • Simpan bagian tubuh yang terputus dan pastikan ada seseorang yang selalu mendampingi korban. Lalu bersihkan bagian tubuh yang terputus dengan perlahan.
  • Bungkuslah bagian tubuh yang terputus dengan kain basah yang bersih, kemudian masukkan ke dalam plastik yang tertutup rapat dan letakkan plastik tersebut ke dalam wadah berisi air es.
  • Jangan letakkan bagian tubuh yang terputus secara langsung tanpa menggunakan plastik dan jangan gunakan dry ice.
  • Jika tidak tersedia air dingin, sebisa mungkin jauhkan bagian tubuh yang terputus dari hal-hal yang bersifat panas. Bawalah ke rumah sakit atau simpan dengan baik hingga tim medis datang.
  • Dinginkan bagian tubuh yang teramputasi, sehingga bagian tubuh yang terpisah masih memungkinkan untuk disambung kembali. Tanpa didinginkan, bagian tubuh yang teramputasi hanya dapat bertahan 4-6 jam untuk bisa disambungkan kembali. Namun, jaga agar bagian tubuh korban yang lain tetap hangat.
  • Lakukan langkah-langkah untuk mencegah syok. Baringkan korban di tempat yang datar, angkat tungkai sekitar 30 cm, dan tutuplah tubuh korban dengan selimut. Jangan posisikan korban dengan posisi ini jika pasien mengalami cedera kepala, leher, punggung, atau tungkai, dan juga jika posisi ini membuat korban tidak nyaman.
  • Ketika perdarahan dapat dihentikan, periksa kondisi korban jika ada tanda cedera yang membutuhkan penanganan segera. Lakukan penanganan dengan baik terhadap luka patah tulang, luka robek, dan cedera lainnya.
  • Dampingi korban hingga pertolongan medis tiba.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan pertolongan pertama terhadap korban amputasi, adalah:
  • Jangan lupa bahwa menyelamatkan hidup seseorang lebih penting dibandingkan menyelamatkan bagian tubuh yang terputus.
  • Jangan mengabaikan luka lain yang bersifat ringan.
  • Jangan terlalu memaksakan untuk mengembalikan bagian tubuh ke tempat semula.
  • Jangan menganggap bahwa bagian tubuh yang terputus terlalu kecil untuk diselamatkan.
  • Jangan gunakan kain bebat, kecuali dalam kondisi perdarahan hebat yang mengancam jiwa orang tersebut karena seluruh bagian tubuh dapat terancam.
  • Jangan memberikan harapan buruk terhadap korban amputasi.

Penanganan Setelah Amputasi

Ada beberapa jenis penanganan yang umumnya dilalui pasien setelah amputasi, antara lain:
  • Adaptasi emosional. Kehilangan bagian tubuh akan menyebabkan pasien mengalami depresi. Konsultasi dengan dokter atau berdiskusi dengan pasien lain akan membantu mengatasi rasa kehilangan yang dialami pasien. Dukungan dari pihak keluarga dan kerabat terdekat juga mampu membantu pasien melalui masa sulitnya. Seiring waktu, pasien akan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan penampilan dan menemukan cara baru untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
  • Phantom limb sensation adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan jenis sensasi yang umumnya dialami oleh pasien di bagian tungkai yang telah diamputasi. Ketika pasien mengalami phantom sensation, pasien akan merasa bahwa anggota tubuh yang telah diamputasi masih ada. Kondisi ini bukanlah gangguan kejiwaan, melainkan respons otak yang masih merasakan kehadiran bagian tubuh yang hilang. Selama sensasi ini tidak menimbulkan rasa sakit atau membahayakan pasien, maka pasien tidak memerlukan perawatan khusus.
  • Nyeri. Sebagian besar pasien amputasi mengalami nyeri di bagian anggota tubuh yang tersisa atau tungkai. Rasa nyeri dapat disebabkan oleh terhambatnya sirkulasi darah dan rusaknya saraf akibat diabetes. Konsultasikan nyeri yang dialami pasien kepada dokter sebelum rasa nyeri semakin parah.
  • Rehabilitasi. Rehabilitasi atau fisioterapi sangat penting dilakukan bagi pasien amputasi. Hal ini dilakukan untuk mencegah penebalan sendi akibat amputasi, meningkatkan sirkulasi darah, dan menurunkan risiko otot yang mengecil. Jenis rehabilitasi yang mungkin dilakukan terhadap pasien amputasi, antara lain:
    • Latihan peregangan.
    • Latihan kekuatan.
    • Latihan berjalan dengan atau tanpa alat bantu.
    • Mengelola dan merawat prostesis.
    • Merawat dan memelihara anggota tubuh yang tersisa.
  • Prostesis. Prostesis mampu menggantikan fungsi dan penampilan anggota tubuh yang hilang. Jenis prostesis umumnya disesuaikan dengan bentuk dan ukuran jari, tangan, lengan, kaki atau tungkai yang tersisa, serta kebutuhan fungsional pasien sehari-hari. Pembuatan protesis biasanya dilakukan dengan teknik pengecoran atau metode komputerisasi yang disesuaikan dengan bagian tubuh pasien. Umumnya, pasien akan diberi pelatihan dalam menggunakan prostesis dan instruksi untuk merawat tungkai atau bagian tubuh yang tersisa.

Komplikasi Amputasi

Komplikasi yang mungkin terjadi setelah amputasi, baik akibat suatu prosedur atau akibat cedera, antara lain:
  • Perdarahan.
  • Infeksi.
  • Rusaknya pembuluh darah dan saraf.
  • Nyeri.
  • Phantom limb pain, yaitu nyeri yang terasa pada organ tubuh yang tidak lagi dimiliki.
  • Deep vein thrombosis (DVT).
Segera hubungi dokter jika Anda merasakan atau muncul tanda-tanda sebagai berikut setelah amputasi:
  • Demam atau menggigil.
  • Sakit di sekitar area amputasi.
  • Luka jahitan terlihat kemerahan, bengkak, atau mengalami perdarahan.
  • Bagian tubuh yang sehat mengalami mati rasa atau kesemutan.
  • Terbentuknya cairan atau nanah.

Pencegahan Amputasi

Pada umumnya, amputasi akibat cedera terjadi secara tiba-tiba tanpa terduga, sehingga sangat sulit untuk dicegah. Namun untuk beberapa kondisi tertentu, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah kemungkinan amputasi, antara lain:
  • Untuk penderita diabetes, beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah risiko amputasi adalah:
    • Periksa kaki secara rutin setiap hari.
    • Jangan remehkan nyeri pada kaki.
    • Gunting kuku secara rutin.
    • Pastikan lantai terbebas dari benda tajam.
    • Selalu gunakan alas kaki, termasuk di rumah.
    • Beli sepatu dan kaos kaki yang nyaman, serta periksa sebelum digunakan.
    Segera hubungi dokter jika kaki Anda mengalami pembengkakan, memerah, atau mengalami perubahan ukuran atau bentuk.
  • Lingkungan pekerjaan. Beberapa lingkungan kerja memiliki risiko kejadian amputasi yang cukup tinggi. Pekerja harus mengenali, mengidentifikasi, mengelola, dan mengendalikan bahaya amputasi. Risiko amputasi biasanya disebabkan oleh komponen mesin, pergerakan mesin, dan kegiatan yang dilakukan oleh pekerja selama mengoperasikan mesin. Ada beberapa hal yang dilakukan untuk menurunkan risiko amputasi di lingkungan kerja, antara lain:
    • Memberikan pelatihan dan praktik keselamatan kerja terhadap karyawan.
    • Mengenakan alat pelindung ketika berada di area kerja yang berisiko.
    • Menggunakan alat bantu atau perangkat untuk mencegah kontak langsung dengan mesin yang berbahaya, seperti alat penggiling, pemotong, atau pengebor.
    • Anak-anak (usia di bawah 18 tahun), dilarang untuk bekerja menggunakan mesin berbahaya.

Amiloidosis

Amiloidosis

Amiloidosis adalah penyakit langka yang akan muncul saat zat amiloid berkumpul pada organ-organ. Amiloid sendiri adalah protein abnormal yang diproduksi pada sumsum tulang dan dapat menumpuk pada jaringan tubuh apapun atau organ. Zat amiloid yang menumpuk akan mempengaruhi kerja organ dan bentuknya.
Banyak organ yang dapat terkena amiloidosis. Contoh bagian yang umumnya terkena amiloidosis adalah jantung, limpa, hati, saluran pencernaan, ginjal, dan sistem saraf.
Amiloidosis - alodokter
Beberapa faktor yang dapat memperbesar risiko seseorang mendertita amiloidosis adalah:
  • Berjenis kelamin pria, karena mayoritas penderita amiloidosis adalah pria.
  • Usia lanjut. Penderita amiloidosis primer umumnya sudah berusia lanjut.
  • Menderita penyakit lain, yang menyebabkan infeksi kronis atau peradangan.
  • Keturunan. Ada jenis amiloidosis yang disebabkan faktor keturunan.
  • Cuci darah. Saat menjalani cuci darah, protein abnormal dapat menumpuk dalam darah, kemudian tertimbun pada jaringan tubuh.
  • Ras Afrika. Orang yang termasuk ras Afrika memiliki risiko lebih besar terkena amiloidosis turunan.

Gejala Amiloidosis

Biasanya penderita tidak merasakan gejala apa pun sampai kondisi amiloidosis sudah tahap lanjut. Beberapa gejala yang dapat dirasakan oleh penderita amiloidosis adalah:
  • Kesulitan menelan.
  • Perut terasa penuh.
  • Mati rasa pada tangan atau kaki.
  • Merasa sangat lelah dan lemas.
  • Nyeri pada persendian.
  • Perubahan pada kulit. Kulit menebal atau mudah memar.
  • Diare.
  • Pembengkakan pada lidah.
  • Kesemutan atau nyeri pada tangan atau kaki.
  • Detak jantung tidak normal.
  • Melemahnya genggaman tangan.
  • Berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.
  • Napas menjadi pendek.
  • Pembengkakan pergelangan tangan dan kaki.
  • Jumlah sel darah merah yang rendah (anemia).

Penyebab Amiloidosis

Secara umum, penyebab amiloidosis adalah menumpuknya zat amiloid yang diproduksi oleh sumsum tulang, pada jaringan tubuh. Ada beberapa jenis amiloidosis yaitu:
  • Amiloidosis primer, atau dikenal dengan nama AL amylodiosis (immunoglobulin light chain amylodiosis). Amiloidosis primer merupakan jenis yang paling umum ditemukan. Amiloidosis jenis ini terjadi ketika sumsum tulang memproduksi antibodi abnormal yang tidak dapat dipecah. Amiloidosis primer dapat mengenai organ jantung, ginjal, kulit, saraf dan hati.
  • Amiloidosis sekunder, atau dikenal pula dengan nama AA amylodiosis. Amiloidosis ini muncul bersamaan dengan penyakit-penyakit infeksi kronis atau peradangan, seperti lupus, TBC, atau penyakit Crohn.
  • Organ-specific amylodiosis, yang dapat menyebabkan penumpukan zat amiloid pada satu organ spesifik, termasuk kulit.
  • Dialysis-related amylodiosis, yang akan muncul ketika protein dalam darah menumpuk pada persendian dan otot tendon. Hal ini akan menyebabkan kekakuan, rasa nyeri serta penimbunan cairan dalam persendian. Amiloidosis jenis ini umumnya dialami pasien yang menjalani cuci darah dalam jangka panjang.
  • Senile systemic amylodiosis, yang biasanya diderita oleh pria berusia lanjut. Amylodiosis jenis ini dapat menyebabkan penumpukan zat amiloid pada jantung dan jaringan lainnya.
  • Amiloidosis turunan, merupakan kelainan turunan yang sering berefek pada hati, saraf, jantung dan ginjal. Beberapa jenis kelainan genetik dapat meningkatkan risiko terkena penyakit amiloidosis.

Diagnosis Amiloidosis

Untuk mendiagnosis pasien yang dicurigai menderita amiloidosis, biasanya dokter akan menjalani langkah-langkah pemeriksaan seperti:
  • Uji laboratorium. Pasien akan diminta sampel darah dan urine untuk diteliti lebih lanjut di laboratorium. Pasien juga dapat diminta menjalani uji fungsi tiroid dan hati.
  • Biopsi. Dokter akan mengambil sampel jaringan untuk diteliti adanya tanda-tanda amiloidosis. Biopsi bisa dilakukan pada jaringan tubuh bagian lemak perut, sumsum tulang, atau organ. Analisis jaringan dapat menentukan jenis zat amiloid yang menumpuk.
  • Uji pencitraan. Pemindaian yang dilakukan pada organ yang terkena amiloidosis dapat membantu dokter mengidentifikasi tingkat keparahan amiloidosis yang diderita.

Pengobatan Amiloidosis

Penanganan pada amiloidosis bertujuan untuk menghambat perkembangan peyakit dan meredakan gejala yang dirasakan penderita. Tindakan yang diberikan tergantung dari jenis amiloidosis yang diderita pasien, misalnya:
  • Amiloidosis primer. Banyak obat-obatan kemoterapi untuk multiple myeloma yang digunakan untuk mengobati amiloidosis primer. Fungsi obat-obatan tersebut adalah untuk menghentikan pertumbuhan sel-sel tidak normal yang memproduksi amiloid.
  • Amiloidosis sekunder. Penanganan ditujukan untuk mengobati penyakit-penyakit yang menyebabkan munculnya amiloidosis.
  • Amiloidosis turunan. Pasien dapat mempertimbangkan langkah transplantasi organ hati, karena protein penyebab amiloidosis jenis ini diproduksi dalam organ hati.
  • Dialysis-related amylodiosis. Dokter akan menyarankan untuk mengubah jenis pencucian darah atau transplantasi ginjal.
Di samping itu, untuk membantu meredakan gejala amiloidosis, dokter dapat pula menyarankan pasien untuk menerapkan pola makan rendah garam serta memberikan obat-obatan, antara lain:
  • Obat diuretik.
  • Obat pengencer darah.
  • Obat untuk mengontrol detak jantung.
  • Obat pereda rasa nyeri.

Komplikasi Amiloidosis

Jika tidak mendapatkan penanganan dengan benar, penderita amiloidosis dapat mengalami kerusakan pada organ, seperti:
  • Jantung. Zat amiloid dapat mengurangi kemampuan jantung untuk mengisi darah di sela-sela detakan, sehingga penderita akan mengalami napas pendek.
  • Ginjal. Zat amiloid dapat merusak sistem penyaringan ginjal. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
  • Sistem saraf. Penderita akan merasakan nyeri, mati rasa atau kesemutan pada jari tangan, berkurangnya semua sensasi, atau munculnya rasa seperti terbakar pada jari kaki atau telapak kaki. Pasien juga dapat menderita konstipasi dan diare.

Amebiasis

Amebiasis

Amebiasis adalah infeksi parasit pada usus yang disebabkan oleh parasit Entamoebae histolytica atau disingkat E. histolytica. Entamoeba merupakan gabungan dari beberapa parasit tunggal yang bertekstur seperti jeli dan dapat hidup di dalam atau permukaan kulit manusia dan binatang. Sama seperti mikroorganisme bersel satu pada umumnya, entamoeba bergerak dengan mengubah struktur tubuhnya dan dapat berkembang biak dengan sendirinya.
amebiasis - alodokter
Secara keseluruhan, terdapat 6 jenis entamoeba, namun hanya parasit E.histolytica yang dapat membuat seseorang sakit. Parasit ini biasa ditemukan di lingkungan yang lembap, berair dan berlumpur.
Siapa pun berisiko terkena infeksi amebiasis. Namun risiko ini lebih tinggi pada orang yang tinggal atau berkunjung ke negara beriklim tropis atau daerah dengan sanitasi buruk. Selain itu, seseorang yang memiliki daya tahan tubuh rendah dan pria yang melakukan seks sesama jenis juga berisiko terjangkit penyakit ini.

Penyebab Amebiasis

Infeksi amebiasis terjadi ketika parasit E. histolytica masuk ke dalam tubuh manusia dan menetap di dalam usus. Parasit ini umumnya menular melalui makanan dan minuman yang telah terkontaminasi. Selain itu, seseorang juga dapat tertular setelah menyentuh tanah, air, pupuk atau tangan orang lain yang sudah terpapar tinja yang mengandung parasit tersebut. Penularan juga dapat terjadi pada orang yang melakukan seks anal, seks oral, atau pada orang yang melakukan terapi pembilasan atau irigasi usus besar (colonic irrigation).
Secara umum, parasit E. histolytica adalah parasit tidak aktif yang dapat tinggal selama berbulan-bulan di daerah lembap atau area yang telah terkontaminasi tinja yang terinfeksi. Parasit yang masuk dalam tubuh manusia akan langsung berkumpul di usus dan beralih ke siklus aktif mereka (fase tropozoit). Parasit-parasit yang aktif tersebut kemudian akan berpindah ke usus besar. Saat parasit mengenai bagian dinding usus, penderitanya dapat mengalami masalah seperti tinja yang disertai darah, diare, radang usus besar (kolitis), hingga kerusakan pada jaringan usus.
Seseorang yang sudah tertular berisiko mengalami infeksi amebiasis parah jika:
  • Kerap mengonsumsi alkohol.
  • Mengalami malnutrisi.
  • Menderita kanker.
  • Sedang hamil.
  • Menggunakan obat kortikosteroid yang dapat menekan sistem imun tubuh.
  • Sering berpergian ke negara tropis atau lingkungan yang terinfeksi.

Gejala Amebiasis

Gejala amebiasis umumnya mulai dirasakan seseorang dalam kurun waktu 7-28 hari setelah terinfeksi parasit. Perlu diingat juga bahwa tidak semua penderita akan merasakan gejala, dan kebanyakan orang hanya akan mengalami gejala yang tergolong cukup ringan, seperti:
  • Diare.
  • Nyeri hingga kram perut.
  • Buang angin berlebihan.
  • Mudah merasa lelah.
Dalam kasus tertentu, parasit dapat menembus mukosa pada dinding usus dan menyebabkan luka, atau justru menyebar ke organ hati melalui pembuluh darah dan mengakibatkan abses hati. Gejala-gejala yang dapat dirasakan saat sudah memasuki kondisi parah seperti ini adalah:
  • Rasa nyeri saat perut ditekan.
  • Disentri atau diare dengan tinja yang bercampur lendir dan darah.
  • Demam tinggi.
  • Muntah-muntah.
  • Pembengkakan di bagian perut atau hati.
  • Perforasi usus atau munculnya lubang pada usus.
  • Sakit kuning (jaundice).

Diagnosis Amebiasis

Dalam melakukan diagnosis amebiasis, dokter akan melakukan serangkaian pemeriksaan fisik dan menanyakan aktivitas yang dilakukan pasien sebelumnya, termasuk lokasi yang dikunjungi. Selain itu, beberapa tes lanjutan juga akan dilakukan untuk memperkuat diagnosa, seperti:
  • Pemeriksaan laboratorium. Sampel tinja pasien akan diperiksa di laboratorium untuk menemukan adanya parasit histolytica. Pengambilan sampel untuk pemeriksaan ini idealnya dilakukan beberapa kali pada hari yang berbeda.
  • Tes darah. Metode ini direkomendasikan dicurigai terdapat parasit histolytica di dinding usus atau organ tubuh lainnya. Tes ini juga dapat dilakukan untuk memeriksa kondisi terkait, seperti anaemia.
  • KolonoskopiDokter akan mengevaluasi kondisi kolon (usus besar) dan banyaknya parasit yang ada dengan menggunakan alat khusus seperti selang tipis yang dilengkapi kamera. Jika diperlukan, biopsi hati (pengambilan sampel jaringan hati untuk diperiksa di laboratorium) dapat sekaligus dilakukan dalam prosedur ini.
  • Pemindaian, seperti CT scan atau USG, untuk memeriksa jika terdapat peradangan pada organ tertentu.
  • Tes jarum. Tes ini biasanya dilakukan saat ada penumpukan nanah (abses) pada hati.

Pengobatan Amebiasis

Secara umum, obat-obatan yang diberikan untuk amebiasis adalah:
  • Obat antibiotik, seperti metronidazole atau tinidazole, untuk membunuh bakteri yang ada di dalam hati atau organ lainnya. Obat ini biasa diberikan bersama dengan antiparasit, seperti diloxanide furoate.
  • Obat antimual bagi penderita yang mengalami gejala mual dan muntah.
Pasien amebiasis biasanya akan disarankan untuk mengonsumsi banyak air putih dan oralit untuk mengganti cairan yang hilang. Jika kondisi yang dialami cukup parah, dokter akan memberikan cairan infus di rumah sakit.
Dalam kasus tertentu, tindakan operasi akan dilakukan jika terjadi pecahnya abses hati atau jika terdapat lubang di usus.

Komplikasi Amebiasis

Berikut adalah beberapa potensi komplikasi yang dapat terjadi pada penderita amebiasis yang tidak diobati atau yang kondisinya sudah parah, seperti:
  • Anemia atau perdarahan usus pada penderita yang mengalami radang usus besar.
  • Hambatan pada usus dikarenakan gumpalan jaringan pada dinding usus.
  • Pembentukan abses di dalam organ hati setelah bertahun-tahun terjangkit parasithistolytica.
  • Infeksi pada organ yang terjangkit, termasuk otak dan sistem saraf pusat.
  • Kematian.

Pencegahan Amebiasis

Beberapa langkah berikut dapat dilakukan untuk mencegah penularan infeksi amebiasis:
  • Cuci tangan menggunakan sabun cair setelah buang air kecil atau buang air besar. Hal ini juga perlu dilakukan setelah mengganti popok bayi dan sebelum mengolah makanan.
  • Cuci sayur atau buah sampai bersih sebelum dikonsumsi.
  • Cuci peralatan masak sampai bersih sebelum digunakan.
  • Rebus air hingga mendidih sebelum diminum.
  • Jangan mengonsumsi susu atau produk olahannya, seperti keju, tanpa dimasak atau dipasteurisasi terlebih dahulu.
  • Hindari mengonsumsi makanan atau minuman yang tidak terjamin kebersihannya, misalnya makanan yang dijual di pinggir jalan.
  • Jangan berbagi pakai alat mandi, seperti handuk atau spons, dengan siapa pun.

Alopecia Areata

Alopecia Areata

Alopecia areata adalah kerontokan rambut yang disebabkan oleh serangan sistem imunitas tubuh sendiri (autoimun) terhadap folikel Kondisi ini umumnya terjadi pada kulit kepala, meski dapat juga terjadi pada bagian tubuh lain yang ditumbuhi rambut, seperti alis, kumis, dan bulu mata. Selain kebotakan berpola bulat, alopecia areata juga dapat menimbulkan kebotakan menyeluruh.
alopecia areata
Alopecia areata bisa diderita oleh siapa pun, baik laki-laki atau perempuan, dalam segala usia. Namun umumnya kondisi ini lebih banyak dialami oleh orang-orang berusia 20 tahun ke bawah. Alopecia areata merupakan penyakit autoimun di mana sistem imunitas tubuh yang bertugas melindungi tubuh dari serangan virus atau bakteri justru melakukan kesalahan dengan menyerang tubuh sendiri. Dalam kasus ini, yang diserang adalah folikel rambut. Akibatnya, folikel rambut yang merupakan tempat tumbuhnya rambut menjadi mengecil lalu berhenti memproduksi rambut sehingga terjadi kebotakan.

Gejala Alopecia Areata

Gejala utama yang ditunjukkan alopecia areata adalah kebotakan berpola bulat. Kebotakan ini dapat terjadi di satu atau beberapa tempat yang tadinya ditumbuhi rambut. Terkadang, rambut baru muncul di pinggir area yang botak. Namun batang rambut tersebut lebih tipis di bagian pangkalnya, sehingga tampak seperti tanda seru. Pada beberapa penderita alopecia areata, kebotakan dapat meluas hingga menyeluruh di kulit kepala (alopecia totalis). Meski jarang terjadi, kebotakan juga dapat terjadi di seluruh tubuh sehingga tidak menyisakan satu helai rambut pun (alopecia universalis). Terkadang, rambut dapat tumbuh kembali setelah beberapa bulan, namun dengan tekstur yang lebih tipis dan berwarna putih, berbeda dengan rambut sebelumnya. Kendati demikian, pada sekitar 10 persen penderita alopecia areata, kebotakan bersifat permanen dan rambut tidak akan tumbuh kembali,
Selain pada kulit kepala dan bagian tubuh lain yang ditumbuhi rambut, alopecia areata juga dapat ditandai dengan gangguan pada kuku jari tangan dan jari kaki, berupa kuku berlekuk dan memiliki garis putih dengan permukaan yang tipis dan kasar. Terkadang kuku dapat berubah bentuk atau terbelah, meski hal ini sangat jarang terjadi.

Penyebab dan Faktor Risiko Alopecia Areata

Penyebab kelainan autoimun pada kasus alopecia areata tidak diketahui penyebabnya, namun diduga dipicu oleh infeksi virus, trauma, perubahan hormon, serta tekanan fisik atau psikis. Penderita alopecia areata juga banyak ditemukan pada orang-orang yang menderita penyakit autoimun lainnya, seperti diabetes tipe 1 atau rheumatoid arthritis.

Diagnosis Alopecia Areata

Alopecia areata dapat terdiagnosis oleh dokter melalui pemeriksaan kondisi rambut, terutama kerontokan yang terjadi. Guna menguatkan diagnosis, pemeriksaan penunjang dapat dilakukan melalui analisis sampel kulit kepala dengan menggunakan mikroskop. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memastikan penyebab kerontokan rambut. Jika terdapat kecurigaan kuat bahwa penderita mengalami penyakit autoimun, maka dokter dapat menganjurkan tes darah untuk memeriksa antibodi yang tidak normal, seperti antinuclear antibody (ANA). Tes darah lain juga dapat membantu dokter untuk  mengetahui penyebab kebotakan lainnya, seperti kadar C-reactive protein, zat besi,  hormon tiroid, testosteron, follicle stimulating hormone (FSH), dan luteinizing hormone (LH).

Pengobatan Alopecia Areata

Tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkan alopecia areata, dan terkadang rambut dapat tumbuh kembali dengan sendirinya. Kendati demikian, obat-obatan tertentu dapat digunakan untuk merangsang pertumbuhan rambut kembali secara lebih cepat. Obat-obatan yang dapat diberikan, antara lain adalah:
  • Minoxidil. Obat topikal ini dapat merangsang pertumbuhan rambut kembali dengan cara dioleskan pada kulit kepala, janggut atau area yang botak dua kali sehari. Pertumbuhan rambut baru dapat dilihat tiga bulan setelah pemakaian obat ini.
  • Kortikosteroid. Kortikosteroid akan menekan sistem kekebalan tubuh dan tersedia dalam bentuk obat suntik, oles, dan minum. Suntikan kortikosteroid diberikan pada kulit yang mengalami kebotakan setiap 3-6 minggu. Rambut baru akan tumbuh sekitar satu bulan setelah suntikan terakhir. Pemberian suntikan kortikosteroid dianggap lebih efektif dibanding penggunaan kortikosteroid topikal. Pemberian kortikosteroid topikal mungkin tepat diberikan untuk anak-anak, yang biasanya takut dengan jarum suntik. Sedangkan konsumsi pil kortikosteroid ditujukan untuk penderita dengan area kebotakan yang luas dan banyak. Namun konsumsi kortikosteroid jangka panjang berisiko menimbulkan efek samping serius.
  • Anthralin. Sama seperti kortikosteroid, obat ini akan memengaruhi sistem imunitas pada kulit. Setelah dioleskan dan didiamkan selama maksimal satu jam, anthralin harus dicuci sampai bersih agar kulit tidak mengalami iritasi.
  • Diphencyprone (DPCP)Obat ini digunakan dengan dioleskan pada daerah yang mengalami alopecia areata dan akan mengakibatkan reaksi alergi seperti kemerahan, bengkak, dan gatal pada daerah yang mengalami kebotakan. Munculnya reaksi alergi adalah efek yang diharapkan dari pemakaian obat ini, dan ditujukan untuk mengalihkan sistem pertahanan tubuh agar melawan peradangan akibat alergi, alih-alih menyerang folikel rambut.
Walaupun tidak berbahaya, tetapi terkadang alopecia areata dapat mengakibatkan ketidaknyamanan pada kulit yang mengalami kebotakan. Mengoleskan krim tabir surya dan menggunakan rambut palsu atau topi dapat melindungi kulit kepala yang mengalami kebotakan dari sinar matahari. Penggunaan kacamata dan bulu mata palsu juga dianjurkan bagi pasien yang mengalami alopecia areata pada bulu mata, hal ini untuk melindungi mata dari debu.

Komplikasi Alopecia Areata

Alopecia areata bukan penyakit yang dapat mengakibatkan kondisi serius. Alopecia areata juga tidak dapat ditularkan kepada orang lain dan rambut yang botakpun dapat tumbuh kembali dengan sendirinya dalam beberapa bulan. Namun pada sekitar 10% penderita, kebotakan yang terjadi bersifat permanen.
Penderita alopecia areata memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita atau memiliki keluarga dengan penyakit asma, alergi, dan penyakit autoimun lain, seperti penyakit tiroid dan vitiligo.
Beberapa penderita alopecia areata dapat terganggu secara emosional, karena menganggap mengalami kebotakan membuat dirinya tidak menarik. Keadaan ini dapat berujung kepada depresi. Dukungan dari orang terdekat penting untuk membantu penderita beradaptasi terhadap kondisi ini.

Alergi Telur

Alergi Telur

Alergi telur adalah salah satu jenis reaksi yang tidak biasa dari sistem kekebalan tubuh terhadap makanan tertentu, dalam hal ini adalah telur. Reaksi alergi yang dihasilkan bisa beragam, mulai dari yang ringan hingga yang bisa mematikan (anafilaksis). Alergi telur dapat muncul semenjak anak masih bayi dan umumnya menghilang sebelum mereka mencapai usia remaja.
Egg allergy - alodokter
Alergi telur adalah salah satu jenis alergi yang banyak ditemui pada anak-anak, setelah alergi susu sapi. Gejala dapat muncul sesaat hingga beberapa jam setelah anak mengonsumsi telur atau makanan yang mengandung telur. Alergi terhadap putih telur adalah yang paling banyak ditemui jika dibandingkan terhadap kuning telur.

Penyebab Alergi Telur

Alergi telur terjadi karena sistem kekebalan tubuh menganggap protein telur sebagai benda berbahaya bagi tubuh sehingga antibodi tubuh merespons dengan melepaskan histamin, dan senyawa kimia lain. Respons tubuh inilah yang menyebabkan munculnya gejala alergi, seperti ruam dan gatal-gatal.
Alergi dapat berasal dari protein yang ada pada kuning atau putih telur saja namun ada juga yang berasal dari keduanya. Dengan kata lain, seseorang dapat mengalami reaksi alergi terhadap protein yang berasal dari kuning telur saja dan tidak bermasalah dengan putih telur, atau sebaliknya. Orang dewasa umumnya memiliki alergi terhadap kuning telur.
Bayi yang masih menyusui umumnya memiliki alergi telur yang berasal dari ASI dari ibu yang mengonsumsi telur. Hal ini dikarenakan sistem pencernaan tubuh yang belum terbentuk dengan sempurna pada usia anak-anak dan bayi yang menyebabkan reaksi alergi sering terjadi.
Selain usia, risiko alergi juga lebih besar dialami oleh anak yang memiliki salah satu atau kedua orang tua yang memiliki riwayat alergi. Misalnya gatal atau eksim, hay fever atau rhinitis, serta memiliki orang tua yang alergi terhadap telur, atau menderita asma. Faktor risiko lainnya adalah penderita dermatitis atopik, yaitu eksim yang sering muncul pada lipatan kulit.

Gejala Alergi Telur

Beberapa gejala alergi telur yang dapat dikenali adalah gatal-gatal, peradangan atau ruam pada kulit, hidung tersumbat atau pilek dan bersin, perut kram, mual dan muntah, atau gejala gangguan pencernaan lainnya. Alergi terhadap putih telur juga dapat menimbulkan gejala berupa sakit di area perut dan diare. Reaksi alergi yang serupa dengan penyakit asma, yaitu mengi (kesulitan bernapas sehingga menimbulkan suara menyerupai siulan), batuk, sakit dada, atau sesak napas juga dapat muncul akibat kondisi ini.
Reaksi alergi yang ringan dapat muncul di sebuah serangan dan menjadi lebih parah pada serangan alergi berikutnya. Reaksi alergi yang lebih serius adalah anafilaksis yang dapat berujung kepada kematian jika tidak segera ditangani. Waspadai gejala-gejala anafilaksis berikut ini,
  • Sakit atau kram di area perut
  • Denyut nadi yang cepat
  • Terjadi penyempitan pada saluran udara, yaitu terdapat benjolan di tenggorokan, atau tenggorokan yang membengkak sehingga sulit untuk bernapas
  • Mengalami shock sehingga tekanan darah menurun dan menyebabkan pusing atau hilang kesadaran.
Sebaiknya segera temui dokter ketika reaksi alergi terjadi untuk memudahkan proses diagnosis dan mencegah komplikasi. Dokter biasanya akan memberikan resep untuk suntikan epinephrine pada pasien yang memiliki risiko mengalami anafilaksis agar bisa segera disuntikkan begitu alergi menyerang.

Diagnosis Alergi Telur

Untuk memudahkan keluarnya diagnosis dari kondisi Anda, ada beberapa persiapan yang bisa dilakukan sebelum memeriksakan diri ke dokter, yaitu:
  • Mencatat gejala yang dirasakan, baik yang berhubungan dengan kondisi Anda secara langsung atau tidak secara langsung.
  • Sebaiknya tidak meminum obat yang mengandung antihistamin sebelum pemeriksaan karena terdapat kemungkinan bahwa dokter akan melakukan tes alergi.
  • Siapkan daftar obat-obatan atau vitamin yang sedang diminum dan pertanyaan yang ingin disampaikan.
Melalui gejala-gejala yang disampaikan, dokter kemudian akan memastikan apakah anak benar mengidap alergi dan bukan ketidaktoleranan pada makanan yang tidak berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh.
Setelah pemeriksaan gejala, dokter juga akan memeriksa rekam medis pasien dan melakukan tes penunjang. Beberapa tes dalam hal ini, antara lain:
  • Tes darah untuk mengukur respons sistem kekebalan tubuh terhadap telur melalui jumlah antibodi yang terdapat di dalam aliran darah.
  • Meletakkan sejumlah kecil protein yang terkandung dalam telur ke kulit pasien. Sebuah benjolan gatal akan muncul pada permukaan kulit yang dijadikan area tes jika pasien terbukti memiliki alergi telur.
  • Memberikan sejumlah kecil telur pada pasien untuk dimakan dan melihat apakah reaksi alergi muncul. Jumlah telur dapat ditambahkan secara bertahap untuk mengamati reaksi alergi yang muncul.
  • Menyarankan pasien untuk memiliki buku harian diet makanan lengkap, lalu secara bertahap menghilangkan telur atau makanan lainnya dari daftar sambil mengamati gejala yang muncul. Anak yang menderita alergi tidak disarankan untuk menjalani diet ketat tanpa pengawasan ahli diet.
Tes alergi adalah tes yang hanya boleh dilakukan oleh dokter atau ahli alergi. Jangan mencoba untuk melakukan tes alergi di rumah terutama jika penderita pernah mengalami reaksi alergi yang parah sebelumnya.

Pengobatan Alergi Telur

Obat yang sering diberikan untuk mengurangi gejala alergi telur tingkat ringan adalah antihistamin. Obat ini dapat diberikan setelah pasien mengonsumsi atau terpapar telur, namun bukan untuk mencegah munculnya reaksi alergi atau digunakan terhadap reaksi alergi yang parah.
Suntikan epinephrine diberikan untuk menangani reaksi alergi yang lebih serius atau parah, yaitu anafilaksis. Selain epineprine, pasien juga perlu segera dibawa ke rumah sakit untuk memastikan gejala alergi benar-benar hilang.
Beberapa penderita alergi telur umumnya masih dapat menolerir beberapa makanan yang mengandung telur matang, misalnya kue yang mangandung telur. Namun ada juga penderita yang memiliki alergi yang serius terhadap telur sehingga satu-satunya cara untuk mengobati alergi adalah dengan menghindari telur atau produk-produk yang mengandung telur.
Bagaimanapun juga, kebanyakan anak-anak yang menderita alergi telur kemudian berhasil melalui tahapan alergi ini seiring bertambahnya usia. Diskusikan bersama dokter mengenai frekuensi tes alergi yang bisa dilakukan untuk mengecek perkembangan alergi telur yang diderita.

Komplikasi Alergi Telur

Alergi telur yang tidak segera diobati akan menimbulkan komplikasi berupa berkembangnya reaksi alergi dari ringan menjadi lebih serius, hingga mengalami anafilaksis, atau bertambahnya alergi. Beberapa jenis reaksi alergi atau kondisi yang mungkin dialami adalah:
  • Kulit menjadi rentan terhadap reaksi alergi, seperti pada kondisi dermatitis atopik.
  • Alergi pada makanan lain, seperti kacang, kedelai, dan susu.
  • Alergi pada bulu dari hewan peliharaan, serbuk sari rumput, dan debu.
  • Penyakit asma, pada akhirnya memicu berkembangnya reaksi alergi yang parah terhadap telur atau makanan lain.

Pencegahan Alergi Telur

Mencegah alergi telur dapat dimulai dengan mengenali dan memperhatikan juga makanan-makanan yang memiliki kandungan telur. Kandungan telur pada beberapa makanan dan istilah yang umum ditemui, antara lain:
  • Puding dan karamel
  • Daging olahan, daging cincang, dan bakso
  • Makanan yang dilapisi tepung roti
  • Makanan yang dipanggang
  • Lapisan atas pada kue, misalnya pada kue ulang tahun
  • Berbagai jenis pasta, seperti spageti, fusili, dan makaroni
  • Saus untuk salad (campuran berbagai jenis sayuran atau buah yang mentah atau matang)
  • Krim kocok atau busa yang ada di atas minuman beralkohol atau kopi
  • Kue pretzel
  • Marsmalow
  • Mayones
Istilah pada makanan olahan yang dimulai dengan kata “ovo” atau “ova” umumnya diproduksi bersama campuran telur, misalnya ovoglobulin atau ovalbumin. Putih telur memiliki empat protein, yang bernama ovomucoid, ovalbumin, ovotransferrin, dan lysozyme. Kuning telur juga memiliki beberapa antigen yang bisa memicu reaksi serangan dari kekebalan tubuh, yaitu livetin, phosvitin, dan apovitilin. Istilah-istilah lain yang umum ditemui, yaitu lecithin, globulin, albumin, dan vitelin.
Selain mengenali makanan apa saja yang memiliki telur di dalamnya, cermat dalam memilih dan membeli makanan lainnya juga perlu mulai dibiasakan. Anda bisa mengawalinya dengan melakukan langkah-langkah berikut:
  • Lebih berhati-hati saat makan di luar rumah. Tanyakan dan pastikan dengan pramusaji atau koki mengenai kandungan bahan makanan pada masakan yang hendak Anda pesan.
  • Bacalah label keterangan pada kemasan makanan dengan teliti. Beberapa pemilik alergi telur dapat bereaksi walau hanya terdapat sedikit kandungan telur pada makanan.
  • Hindari mengonsumsi telur bagi ibu menyusui yang memiliki anak penderita alergi telur. Seperti halnya makanan dan minuman yang Anda konsumsi, protein dari telur juga dapat masuk melalui ASI yang akan diminum oleh anak.
  • Anda bisa mengganti telur dengan bahan pengganti yang umum digunakan untuk mengolah makanan, antara lain tepung tapioka, tepung kentang, saus apel, dan lesitin kedelai. Diskusikan juga bersama dokter atau ahli gizi mengenai pengganti telur lain yang aman dikonsumsi.
  • Gunakan gelang atau kalung khusus penderita alergi, khususnya penderita anak dengan alergi yang parah, agar orang-orang di sekitar Anda dapat mengingatkan sekaligus membantu memilih makanan yang aman.
  • Informasikan kepada kerabat dan pengasuh anak mengenai alergi dan apa yang harus dilakukan ketika reaksi alergi muncul.
Beberapa jenis suntikan vaksin juga memiliki kandungan protein dari telur sehingga berisiko memicu reaksi alergi pada penderita alergi, seperti vaksin untuk flu/influenza, campak, gondong, dan rubella, serta demam kuning. Beberapa jenis vaksin ini memiliki sedikit kandungan protein telur sehingga jika memang diperlukan harus diberikan di bawah pengawasan medis dan setelah melalui tes alergi.
Walau vaksin lain aman bagi penderita alergi telur, sebaiknya Anda tetap mendiskusikan bersama dokter jenis-jenis vaksin yang aman maupun berbahaya untuk digunakan. Dokter mungkin melakukan tes alergi terlebih dulu sebelum memberikan vaksin untuk mencegah terjadinya reaksi alergi.

Alergi Obat

Alergi Obat

Alergi obat adalah reaksi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh terhadap suatu obat yang digunakan. Reaksi ini muncul karena sistem kekebalan tubuh menganggap zat tertentu dalam obat tersebut sebagai substansi yang bisa membahayakan tubuh.
Kondisi ini berbeda dengan efek samping obat yang biasanya tercantum pada kemasan, maupun keracunan obat akibat overdosis.
alodokter-alergi-obat

Gejala Alergi Obat

Reaksi alergi obat umumnya muncul secara bertahap seiring sistem kekebalan tubuh yang membangun antibodi untuk melawan obat tersebut. Reaksi ini mungkin tidak muncul secara langsung saat pertama kali menggunakan obat.
Pada tahap penggunaan pertama, sistem kekebalan tubuh akan menilai obat sebagai substansi berbahaya bagi tubuh kemudian mengembangkan antibodi secara perlahan-lahan. Pada penggunaan berikutnya, antibodi ini akan mendeteksi dan menyerang substansi dari obat tersebut. Proses inilah yang bisa memicu gejala-gejala alergi obat.
Sebagian besar alergi obat memiliki gejala yang ringan, dan biasanya akan reda dalam beberapa hari setelah penggunaan obat dihentikan. Berikut ini adalah beberapa gejala umum dari alergi obat yang perlu Anda cermati.
  • Ruam atau bentol-bentol pada kulit.
  • Gatal-gatal.
  • Hidung beringus.
  • Batuk-batuk.
  • Demam.
  • Sesak napas atau napas pendek.
  • Mata terasa gatal atau berair.
  • Pembengkakan.
Meski demikian, reaksi alergi yang parah juga dapat memicu anafilaksis, yaitu reaksi alergi yang menyebabkan kegagalan fungsi sistem tubuh secara luas. Kondisi tersebut sangat serius dan bisa berakibat fatal sehingga memerlukan penanganan darurat.
Berhati-hatilah jika mengalami reaksi alergi obat. Segera periksakan diri ke dokter untuk mengetahui penyebabnya sehingga bisa dihindari.

Jenis-jenis Obat yang Bisa Menyebabkan Reaksi Alergi

Hampir semua obat bisa memicu reaksi yang tidak diinginkan dari tubuh, tapi tidak semuanya menyebabkan alergi. Alergi obat disebabkan oleh reaksi sistem kekebalan tubuh pada zat tertentu. Jenis-jenis obat yang berpotensi memicu reaksi alergi meliputi:

Faktor Risiko Alergi Obat

Tidak semua orang akan mengalami reaksi alergi akibat obat. Diduga ada sejumlah faktor yang bisa meningkatkan risiko alergi obat pada seseorang. Faktor-faktor risiko tersebut meliputi:
  • Peningkatan pajanan terhadap obat tertentu, contohnya karena penggunaan yang berulang, berkepanjangan, atau dengan dosis tinggi.
  • Faktor keturunan. Risiko seseorang untuk mengalami alergi obat akan meningkat apabila ada anggota keluarga yang memiliki alergi terhadap obat-obatan tertentu.
  • Pernah mengalami jenis alergi lain, misalnya alergi makanan.
  • Alergi terhadap obat lain. Contohnya, jika alergi terhadap penisilin, maka juga akan mengalami alergi terhadap amoxicillin.
  • Penyakit yang menyebabkan tubuh rentan terhadap reaksi alergi obat, misalnya HIV.

Diagnosis Alergi Obat

Sama seperti pada penyakit lain, tahap awal diagnosis alergi obat adalah dengan memeriksa kondisi kesehatan dan fisik penderita. Terutama, waktu kemunculan gejala, jenis obat yang digunakan, maupun tingkat keparahan serta perubahan pada gejala yang dialami. Jika dibutuhkan, dokter akan menganjurkan pemeriksaan yang mendetail untuk memastikan diagnosis, antara lain:
  • Tes kulit (skin test). Obat-obatan yang dicurigai menyebabkan alergi akan diaplikasikan ke kulit dengan cara ditempelkan atau melalui tusukan jarum. Hasil positif memperlihatkan kulit memerah, gatal-gatal, atau muncul benjolan. Jika hal itu terjadi, seseorang hampir pasti mempunyai alergi terhadap obat tersebut.
  • Tes darah. Tes ini jarang digunakan karena tingkat akurasinya dalam mendeteksi alergi obat tidak tinggi. Tapi jika menduga akan ada reaksi yang parah akibat tes kulit, dokter biasanya akan menganjurkan tes darah. Tes ini juga berfungsi untuk mengetahui sekaligus menghapus kemungkinan adanya kondisi lain yang berpotensi memicu gejala yang dialami.

Pengobatan Alergi Obat

Penanganan utama untuk alergi obat adalah dengan mengatasi dan meredakan gejala-gejala yang dialami. Langkah ini bisa dilakukan dengan berhenti mengonsumsi atau menggunakan obat yang menyebabkan alergi.
Pemberian antihistamin mungkin disarankan untuk menghambat reaksi sistem imun yang diaktifkan oleh tubuh saat terjadi reaksi alergi. Sementara itu, kortikosteroid dapat digunakan untuk mengatasi peradangan akibat reaksi alergi yang lebih serius.
Bagi yang pernah mengalami anafilaksis atau reaksi alergi obat yang berat, dokter biasanya akan meresepkan suntikan epinefrin. Bagi penderita dengan riwayat alergi yang berat, sediakan selalu epipen, yaitu epinefrin dalam bentuk suntikan sekali pakai, untuk berjaga-jaga apabila terjadi reaksi serupa. Penderita juga sebaiknya menjalani perawatan di rumah sakit agar bisa mendapatkan bantuan pernapasan dan penstabilan tekanan darah.

Pencegahan Alergi Obat

Langkah utama dalam mencegah alergi obat adalah dengan menghindari obat yang menjadi sumber alergi. Contohnya dengan:
  • Mengenakan gelang atau kalung penanda alergi jika memungkinkan.
  • Memberi tahu dokter atau tenaga medis tentang riwayat alergi terhadap jenis obat tertentu sebelum menjalani penanganan medis apa pun.

Alergi Kacang

Alergi Kacang

Alergi kacang adalah reaksi alergi yang terjadi akibat tubuh menyalahartikan makanan berbahan dasar kacang sebagai salah satu alergen yang berbahaya. Dalam kondisi ini, sistem pertahanan tubuh akan bereaksi untuk melawan alergen tersebut dan terkadang dapat memberikan efek yang cukup fatal, misalnya syok anafilaksis. Syok anafilaksis merupakan kondisi di mana tekanan darah akan menurun secara drastis dan saluran napas akan menyempit, sehingga pernapasan terhambat. Namun, tidak semua penderita mengalami kondisi ini.
Siapa pun dapat mengalami alergi kacang, meskipun sebagian besar penderita adalah anak-anak. Segera temui dokter jika Anda atau anak Anda mengalami alergi kacang, baik dalam kadar ringan atau parah.
alergi kacang - alodokter

Penyebab Alergi Kacang

Alergi terjadi ketika sistem pertahanan tubuh menyalahartikan alergen sebagai zat yang berbahaya, sehingga tubuh akan menghasilkan senyawa kimia bernama histamin ke dalam darah. Histamin ini dapat menyebar dan mempengaruhi berbagai jaringan tubuh seperti kulit, mata, saluran pernapasan, hidung, paru-paru, usus hingga pembuluh darah. Alergi kacang pun demikian, yaitu tubuh mengenali protein kacang sebagai zat yang berbahaya.
Alergi kacang tidak selalu bereaksi saat seseorang mengonsumsi kacang. Terdapat kasus dimana pasien sangat sensitif, sehingga terserang alergi saat menghirup bau kacang atau menyentuh kacang secara langsung. Hingga sekarang, belum ada alasan yang jelas kenapa perbedaan kadar sensitivitas tiap orang ini bisa terjadi.
Potensi terserang alergi kacang akan lebih tinggi pada:
  • Anak-anak umumnya berusia 14 bulan hingga 2 tahun dan berlanjut hingga dewasa.
  • Dewasa yang pernah terserang alergi kacang atau alergi makanan lainnya saat masih anak-anak. Tidak seperti alergi lainnya, alergi terhadap kacang cenderung menetap dan tidak dapat dihilangkan atau disembuhkan. Hanya sekitar 20% penderita yang mampu sembuh saat beranjak dewasa.
  • Orang yang memiliki keluarga dengan riwayat alergi kacang atau alergi makanan lainnya.
  • Orang yang memiliki kondisi dermatitis atopik atau sensitivitas yang berlebihan pada kulit.

Gejala Alergi Kacang

Gejala alergi kacang biasanya mulai terlihat dalam hitungan detik hingga beberapa jam setelah mengonsumsi atau menyentuh kacang, seperti:
  • Ruam, gatal-gatal, hingga pembengkakan pada kulit.
  • Pembengkakan pada wajah.
  • Rasa gatal atau tidak nyaman di sekitar mulut dan tenggorokan.
  • Pilek.
  • Tenggorokan terasa seperti tercekik.
  • Napas pendek.
  • Mual.
  • Muntah.
  • Diare.
  • Kram perut.
Bagi yang mengalami reaksi parah atau anafilaksis, beberapa gejala yang mungkin terlihat adalah:
  • Penyempitan dan pembengkakan pada saluran pernapasan.
  • Pembengkakan pada bibir, lidah, dan bagian tubuh lainnya.
  • Kesulitan bernapas.
  • Tekanan darah menurun drastis.
  • Syok.
  • Denyut jantung berdetak cepat.
  • Pusing.
  • Pingsan.
Tiga puluh persen penderita alergi kacang mengalami serangan susulan dalam kurun waktu 8 jam setelah serangan pertama. Segera temui dokter jika mengalami gejala alergi kacang, baik ringan atau parah, agar dapat ditangani dengan tepat dan terhindar dari komplikasi lebih lanjut.

Diagnosis Alergi Kacang

Pada awalnya, dokter biasanya akan melakukan tes fisik dan menanyakan mengenai makanan yang dikonsumsi, durasi dan frekuensi gejala yang muncul, hingga riwayat alergi Anda serta keluarga.
Apabila masih belum jelas apakah alergi yang Anda alami disebabkan oleh kacang atau makanan lain, dokter biasanya akan menyarankan pasien untuk melakukan metode eliminasi makanan. Pada tes ini, pasien akan diminta untuk tidak mengonsumsi kacang selama satu atau dua minggu, kemudian pasien diminta untuk kembali ke pola makan semula sambil mencatat semua yang dikonsumsinya. Tes ini tidak sepenuhnya aman, dan harus dilakukan sesuai dengan petunjuk dari dokter.
Selain dengan menanyakan seputar gejala, melakukan pemeriksaan fisik, dan melakukan tes eliminasi makanan, dokter mungkin akan menyarankan beberapa tes alergi seperti:
  • Tes darah. Tes ini dilakukan untuk memeriksa kadar antibodi imunoglobulin E (IgE) atau kadar antibodi alergen dalam tubuh.
  • Tes kulit. Tes ini dilakukan dengan meletakkan makanan dengan kandungan alergen yang dicurigai menjadi pemicu di atas kulit pasien dan ditusuk dengan jarum. Jika muncul reaksi tertentu, maka pasien tersebut mungkin mengalami alergi kacang atau intoleransi pada makanan tertentu.
  • Tes makanan. Dalam tes ini, dokter akan memberikan berbagai makanan dengan dan tanpa kandungan protein kacang. Selanjutnya pasien akan diamati selama kurang lebih 30 menit untuk melihat ada atau tidaknya reaksi alergi yang terjadi. Tes ini biasanya dilakukan di rumah sakit agar dapat ditangani secara langsung jika terjadi reaksi parah.

Pengobatan Alergi Kacang

Hingga sekarang, belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan alergi kacang sepenuhnya, namun terdapat beberapa cara untuk meredakan gejalanya. Selain dengan menghindari makanan dan minuman dengan kandungan protein kacang, obat-obatan berikut dapat menjadi pendukung:
  • Obat Antihistamin, untuk meredakan gejala alergi kacang dengan kadar ringan. Obat ini biasanya diminum saat gejala alergi mulai terlihat, atau tidak sengaja mengonsumsi makanan atau minuman dengan kandungan kacang. Biasanya, obat ini akan bereaksi dalam waktu 15-20 menit setelah diminum.
  • Obat Epinefrin (adrenalin), untuk meredakan gejala alergi kacang yang parah. Obat ini biasa diresepkan dalam bentuk suntikan berbentuk pena agar cepat bereaksi. Obat ini harus segera disuntikkan untuk menghindari gejala memburuk.
Dikarenakan penderita dapat terserang alergi kacang kapan pun, mereka sangat disarankan untuk membawa obat setiap saat dan memberi tahu orang terdekat cara pemakaiannya. Untuk memaksimalkan efek obat, pastikan obat dalam keadaan baik dan tidak kedaluwarsa. Jika kondisi memburuk, segera temui dokter atau periksakan diri ke rumah sakit terdekat.
Saat ini, terdapat penelitian yang menemukan bahwa imunoterapi atau desentisisasi dapat menjadi cara terbaik untuk memulihkan alergi kacang dan makanan lainnya. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan toleransi tubuh terhadap alergen. Walau terapi ini sudah berhasil membantu pasien alergi serbuk sari dan racun serangga, hingga sekarang terapi ini masih dikembangkan untuk memulihkan pasien alergi makanan (khususnya alergi kacang) karena tingkat keparahan dan komplikasi yang dapat terjadi, seperti reaksi anafilaksis.

Pencegahan Alergi Kacang

Walau terkadang sulit, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terserang alergi kacang, seperti:
  • Memeriksa komposisi kandungan pada kemasan untuk memastikan makanan atau minuman bebas dari penggunaan protein kacang.
  • Jangan mengonsumsi makanan atau minuman yang Anda tidak pasti kandungannya.
  • Selalu tanyakan bahan makanan yang digunakan pada pramusaji atau penjual saat membeli makanan atau minuman dari luar.
  • Memberi tahu keluarga atau teman terdekat mengenai alergi Anda agar tidak disajikan makanan atau minuman dengan kandungan tersebut.
Selain yang mengandung protein kacang secara langsung, Anda juga disarankan untuk mencari tahu makanan atau minuman yang secara tidak langsung dapat mengandung kacang, seperti:
  • Biskuit.
  • Kue.
  • Cokelat nougat.
  • Es krim.
  • Puding.
  • Sereal.
  • Granola.
  • Sup.
  • Saos kemasan.
  • Roti gandum.
  • Camilan.
  • Madu.
  • Makanan vegetarian.
  • Salad.
  • Makanan khas Indonesia, India, Thailand, Cina, Mediterania, Afrika, dan Meksiko yang mungkin mengandung minyak berprotein kacang.
Dalam kondisi tertentu, beberapa produk seperti sampo, losion, dan makanan hewan juga dapat mengandung protein kacang saat diproduksi. Pastikan Anda mencari tahu lebih dahulu sebelum membelinya.

Alergi

Alergi

Pengertian Alergi

Alergi adalah reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap sesuatu yang dianggap asing, baik berbahaya atau pun tidak. Ini bisa berupa substansi yang masuk atau bersentuhan dengan tubuh.
Skin prick allergy test
Alergen atau substansi pemicu alergi hanya berdampak pada orang yang memiliki alergi tersebut. Pada orang lain, alergen tersebut tidak akan memicu reaksi kekebalan tubuh. Beberapa jenis substansi yang dapat menyebabkan reaksi alergi meliputi gigitan serangga, tungau debu, bulu hewan, obat-obatan, makanan tertentu, serta serbuk sari.
Saat tubuh pertama kali berpapasan dengan sebuah alergen, tubuh akan memproduksi antibodi karena menganggapnya sebagai sesuatu yang berbahaya. Jika tubuh kembali kontak dengan alergen yang sama, tubuh akan meningkatkan jumlah antibodi terhadap jenis alergen tersebut. Hal inilah yang memicu pelepasan senyawa kimia dalam tubuh (histamin) dan menyebabkan gejala-gejala alergi.
Gejala-gejala yang Muncul Saat Alergi
Ada beberapa gejala alergi yang umum terjadi, antara lain:
  • Bersin-bersin.
  • Batuk-batuk.
  • Sesak napas.
  • Ruam pada kulit.
  • Hidung beringus.
  • Terjadi pembengkakan di bagian tubuh yang berpapasan dengan alergen, misalnya wajah, mulut dan lidah.
  • Gatal dan merah pada mata.
  • Mata merah,  berair.
  • Sakit perut, muntah-muntah, atau diare
Tingkat keparahan alergi juga berbeda-beda pada tiap orang, ada yang mengalami reaksi alergi ringan dan ada yang parah sampai berakibat fatal yang disebut dengan anafilaksis. Jika mengalami anafilaksis, Anda membutuhkan penanganan medis darurat.
Cara paling ampuh dalam mencegah alergi adalah menghindari diri dari substansi pemicunya atau alergen. Tapi jika gejala-gejala alergi terlanjur muncul, ada beberapa obat anti-alergi yang bisa membantu.

Aktinomikosis

Aktinomikosis

Aktinomikosis merupakan infeksi kronis subakut yang disebabkan oleh bakteri genus Actinomyces. Infeksi ini ditandai dengan pembengkakan yang terpusat atau terlokalisasi pada suatu tempat, disertai pembentukan nanah akibat proses radang (supurasi), fibrosis, terbentuknya abses, serta keluarnya cairan yang mengandung granul sulfur dari saluran nanah (sinus) pada abses.
Aktinomikosis - Alodokter
Aktinomikosis cukup jarang terjadi dan infeksinya bersifat lokal pada satu tempat di bagian tubuh. Hal ini dikarenakan bakteri Actinomyces tidak memiliki kemampuan untuk menembus jaringan tubuh. Akan tetapi pada beberapa kasus, bakteri Actinomyces dapat berpindah melalui jaringan tubuh meskipun sangat lambat.
Gejala-gejala aktinomikosis cukup bervariasi tergantung jenis infeksi yang terjadi. Beberapa jenis aktinomikosis yang sudah diidentifikasi adalah:
  • Aktinomikosis oral servikofasialis. Infeksi aktinomikosis jenis ini terjadi pada mulut, rongga mulut, rahang, leher, serta daerah wajah. Sebagian besar kasus aktinomikosis oralis disebabkan oleh permasalahan pada rahang (misalnya cedera rahang) atau permasalahan pada gigi dan gusi (misalnya karang gigi dan pembusukan gigi).
  • Aktinomikosis torakal. Ini merupakan jenis infeksi aktinomikosis yang terjadi pada paru-paru atau bagian organ pernapasan lainnya. Sebagian besar infeksi aktinomikosis paru diperkirakan disebabkan oleh terhirupnya percikan ludah atau cairan yang terkontaminasi Actinomyces ke dalam organ pernapasan.
  • Aktinomikosis abdominal. Infeksi aktinomikosis yang terjadi pada bagian perut. Penyebab munculnya aktinomikosis abdominal sangat beragam, salah satunya adalah akibat infeksi usus buntu (apendisitis).
  • Aktinomikosis pelvis. Ini merupakan infeksi aktinomikosis yang terjadi pada bagian pelvis (daerah panggul). Sebagian penderita infeksi jenis ini adalah wanita akibat penyebaran bakteri dari organ genital menuju pelvis. Aktinomikosis pelvis sering diasosiasikan dengan penggunaan alat konstrasepsi IUD. Terutama jika penggunaannya melebihi batas waktu yang direkomendasikan oleh produsen.

Penyebab Aktinomikosis

Penyebab aktinomikosis adalah bakteri Actinomyces yang merupakan flora normal yang biasa hidup di rongga mulut, saluran pencernaan, dan saluran kemih. Bakteri Actinomyces merupakan bakteri komensal patogenis fakultatif yang memerlukan kemampuan untuk menembus lapisan mukosa sehingga dapat menyebabkan penyakit. Aktinomikosis seringkali disebabkan oleh beberapa jenis bakteri, baik sesama genus Actinomyces ataupun bakteri lain. Bakteri Actinomyces israelii dan Actinomyces gerencseriae merupakan dua bakteri yang paling sering dijumpai dalam kasus aktinomikosis pada manusia. Selain kedua jenis bakteri tersebut, jenis bakteri Actinomyces lainnya yang dapat ditemukan pada kasus aktinomikosis, antara lain adalah Actinomyces odontolyticus, Actinomyces viscous, Actinomyces meyeri, Actinomyces turicensis, dan Actinomyces radingae. Infeksi yang terjadi akibat Actinomyces cenderung muncul pada jaringan yang berdekatan dengan membran mukosa. Beberapa hal yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang terkena aktinomikosis antara lain adalah:
  • Usia. Aktinomikosis paling banyak terjadi pada usia 20-60 tahun.
  • Pria. Aktinomikosis seringkali terjadi pada pria, terkecuali aktinomikosis pelvis yang cenderung terjadi pada wanita.
  • Diabetes. 
  • Imunosupresi. Kondisi sistem imun seseorang yang terganggu menyebabkan lebih mudah terkena aktinomikosis. Misalnya akibat infeksi HIV, menjalani kemoterapi, konsumsi steroid, bifosfonat, transplantasi ginjal, atau transplantasi paru-paru.
  • Mengonsumsi alkohol.
  • Mengalami kerusakan jaringan. Misalnya akibat cedera, pembedahan, atau radioterapi.
  • Kerusakan gigi atau kebersihan gigi yang tidak dijaga dengan baik.
  • Memiliki riwayat pembedahan pada perut.

Gejala Aktinomikosis

Gejala aktinomikosis cukup bervariasi tergantung lokasi terjadinya kondisi ini. Gejala aktinomikosis oral servikofasialis yang sering muncul adalah sebagai berikut:
  • Demam.
  • Munculnya pembengkakan kronis di sekitar rahang bawah yang tidak terasa nyeri. Namun kadang-kadang pembengkakan ini juga dapat menimbulkan nyeri.
  • Munculnya lesi yang terasa keras dan sering disalah duga sebagai lesi keganasan (kanker).
  • Munculnya limfadeopati jika aktinomikosis sudah cukup kronis dan masuk ke stadium lanjut.
  • Terbentuk saluran nanah (sinus), yang mengeluarkan cairan nanah berwarna kuning seperti sulfur.
  • Warna kulit di sekitar pembengkakan dapat berubah menjadi kemerahan atau kebiruan.
  • Aktinomikosis oral servikofasialis pada beberapa kasus juga dapat menyebar ke tulang dan otot.
Sedangkan pada kasus aktinomikosis torakal, gejala yang sering muncul adalah sebagai berikut:
  • Demam ringan hingga sedang.
  • Batuk yang muncul dapat berupa batuk kering maupun batuk berdahak. Pada beberapa kasus, dapat pula muncul batuk yang disertai darah.
  • Letih dan lelah.
  • Sesak napas.
  • Nyeri dada.
  • Batuk darah (haemoptisis) dan kehilangan berat badan jika infeksi aktinomikosis sudah berlangsung sejak lama.
  • Terdapat cairan pada paru-paru yang terkadang diikuti dengan munculnya benjolan pada daerah paru-paru.
  • Jika dibiarkan, infeksi dapat menyebar ke selaput paru-paru, selaput jantung, selaput dada.
Pada kasus aktinomikosis abdominalis, gejala yang dapat muncul adalah sebagai berikut:
  • Demam ringan.
  • Kehilangan berat badan.
  • Lelah dan letih.
  • Nyeri perut.
  • Munculnya benjolan atau pembengkakan pada perut bagian bawah. Namun terkadang benjolan tidak terasa pada saat pemeriksaan fisik menggunakan metode palpasi.
  • Munculnya cairan nanah dari sinus yang terbentuk pada bagian perut.
  • Diare atau konstipasi.
  • Mual dan muntah.
Sedangkan pada kasus aktinomikosis pelvis, gejala yang dapat muncul adalah sebagai berikut:
  • Nyeri perut bagian bawah.
  • Terjadi pendarahan pada vagina secara tidak teratur atau keluarnya cairan dari vagina seperti keputihan.
  • Kehilangan nafsu makan.
  • Munculnya benjolan yang dapat terasa di daerah pinggang atau pinggul.
  • Demam ringan.
  • Letih.

Diagnosis Aktinomikosis

Aktinomikosis dapat diketahui dan didiagnosa melalui pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
  • Pemeriksaan darah. Aktinomikosis dapat menyebabkan terjadinya peningkatan laju endap darah, enzim alkalin fosfatase, dan protein C reaktif (CRP). Selain itu, aktinomikosis juga dapat menyebabkan terjadinya anemia dan leukositosis ringan.
  • Pencitraan organ dalam. Pencitraan dapat dilakukan dengan menggunakan CT scan, MRI dan Rontgen dada. Hasil CT scan dan MRI pada penderita aktinomikosis dapat menunjukkan adanya abses nonspesifik pada bagian yang diduga mengalami aktinomikosis. Dari foto Rontgen dada dapat diketahui adanya pneumonitis, benjolan maupun lesi lain pada rongga dada, khususnya pada aktinomikosis torakal. Meskipun tidak dapat mendiagnosis adanya aktinomikosis secara akurat, hasil pencitraan organ dalam dapat digunakan untuk membantu pemeriksaan jaringan tubuh melalui mikroskop, terutama pada saat pengambilan sampel jaringan.
  • Pemeriksaan histopatologi. Sampel jaringan yang diduga mengalami aktinomikosis dapat diamati melalui mikroskop untuk melihat penampakan jaringan. Sampel untuk studi mikroskopis juga dapat diperoleh dari cairan nanah yang keluar dari organ yang mengalami aktinomikosis. Cairan dapat diamati secara langsung atau melalui kultur bakteri, meskipun risiko kegagalan kultur bakteri cukup tinggi.
  • Analisis Genetika Molekuler. Untuk keperluan diagnosis yang lebih cepat dan akurat, dapat digunakan metode analisa genetika molekuler untuk mengonfirmasi keberadaan Actinomyces. Metode yang dapat dilakukan antara lain adalah PCR, sekuensing RNA bakteri, hibridisasi spektrofotometri in situ, dan spektrometri massa.

Pengobatan Aktinomikosis

Pengobatan aktinomikosis yang paling utama adalah dengan menggunakan antibiotik, terutama golongan beta-laktam, seperti penicillin G dan penicillin V. Kemampuan bakteri Actinomycesuntuk resisten terhadap penicillin cukup rendah, sehingga antibiotik golongan ini dapat digunakan sebagai pengobatan utama aktinomikosis. Pengobatan pada tahap pertama dapat menggunakan penicillin G intravena selama 2-6 minggu, kemudian diikuti dengan penicillin Voral selama 6-12 bulan. Namun perlu diingat bahwa pengobatan selama 6-12 bulan tidak perlu dilakukan untuk seluruh penderita aktinomikosis.
Selain menggunakan penicillin, aktinomikosis jga dapat diobati dengan menggunakan antibiotik lainnya, seperti:
  • Benzylpenicillin.
  • Amoxicillin.
  • Ceftriaxone. 
  • Meropenem.
  • Piperacillin dan tazobactam.
  • Doxycycline. 
  • Clindamycin. 
  • Erythromycin. 
  • Clarithromycin. 
Seringkali pada penderita aktinomikosis, tidak hanya bakteri genus Actinomyces yang terdapat pada daerah terjadinya aktinomikosis, namun seringkali juga terdapat bakteri lain, seperti Staphylococcus aureus dan bakteri gram negatif anaerob. Oleh karena itu, pada saat pemberian antibiotik pada awal masa pengobatan, perlu juga diberikan antibiotik yang memiliki kemampuan menghambat enzim beta-laktamase. Beta laktamase dapat menghambat kinerja antibiotik yang diberikan untuk membunuh Actinomyces. Contoh antibiotik yang juga memiliki kemampuan menghambat beta-laktamase adalah clavulanate dan tazobactam.
Khusus bagi penderita aktinomikosis abdominalis, selain diberikan amoxicillin, metronidazole, clindamycinatau clavulanate, dapat juga diberikan aminoglikosida. Fungsi aminoglikosida adalah untuk membasmi bakteri famili Enterobacteriaceae yang resisten terhadap antibiotik-antibiotik sebelumnya serta memperparah aktinomikosis yang terjadi.
Pembedahan memang dapat dilakukan pada penderita aktinomikosis, namun perlu diingat bahwa metode primer pengobatan aktinomikosis adalah melalui antibiotik. Beberapa kondisi yang menyebabkan aktinomikosis perlu diobati melalui pembedahan antara lain adalah:
  • Jika terjadi kerusakan jaringan yang ekstensif dan perlu dilakukan pengangkatan (reseksi) jaringan atau tindakan lain. Contohnya jika terjadi nekrosis, infeksi sinus, dan munculunya fistula.
  • Jika terdapat abses berukuran besar atau empiema (abses mengandung nanah) yang tidak dapat dikeringkan melalui penyedotan dari permukaan kulit.
  • Jika abses yang muncul menghalangi saluran organ tubuh¸ contohnya jika abses pada aktinomikosis pelvis menghalangi saluran urine.
  • Jika penderita tidak sembuh dengan antibiotik.
Aktinomikosis dapat menyebabkan kematian terutama jika infeksi Actinomyces menyebar hingga sistem saraf pusat seperti otak dan sumsum tulang belakang. Tingkat kematian akibat aktinomikosis dapat mencapai 28 persen, namun angka tersebut bergantung terhadap lokasi awal terjadinya aktinomikosis. Jika mendapatkan perawatan dan penanganan medis yang baik, penderita aktinomikosis dapat sembuh secara maksimal.

Komplikasi Aktinomikosis

Komplikasi aktinomikosis dapat terjadi terutama jika infeksi yang muncul pada penderita tidak ditangani dengan baik dan menyebar ke organ tubuh lainnya. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi akibat aktinomikosis adalah:
  • Osteomielitis, terutama pada tulang rahang, tulang rusuk, dan tulang punggung.
  • Abses pada otak dan meningitis kronis, termasuk infeksi saraf kranial (kepala) dan spinal (tulang belakang), serta infeksi ruang durameter pada selaput meninges.
  • Endokarditis.
  • Aktinomikosis terdiseminasi.
  • Abses hati.